Blog perdana, isinya campur aduk tetapi kebanyakan adalah hal2 yang menurut gw menarik, dan memudahkan apabila suatu saat gw ingin mencari info yang dapat menunjang aktifitas gw,, selamat membaca :)
Senin, 24 September 2012
Tahukah Anda Siapa Sebenarnya Daan Mogot Itu ?
Penduduk
Jakarta pasti sudah pernah mendengar nama sebuah jalan bernama Daan
Mogot. Jalan yang terbentang dari perempatan Grogol hingga Tangerang.
Tapi apakah banyak yang sadar bahwa nama jalan Daan Mogot itu berasal
dari sebuah nama seorang pemuda?
Pemuda belia itu bernama Elias Daniel
Mogot. Daan Mogot adalah nama populer Elias Daniel Mogot. Pemuda ini
cukup mengagumkan. Bayangkan ketika anak-anak saat ini yang berumur 14
tahun masih doyan main playstation ataupun ber-FB ria, ternyata saat
umur 14 tahun Daan Mogot sudah ikut berperang.
Elias Daniel Mogot Berusia 20 Tahun
Pemuda kelahiran Manado, 28 Desember
1928, ini dibawa oleh orang tuanya ke Batavia (Jakarta) saat berumur 11
tahun. Daan Mogot adalah anak dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia
Inkiriwang. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak
kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex
E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan
Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut). Di Batavia, ayahnya
diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda).
Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang.
Di umur 14 tahun (tahun 1942) Daan Mogot
masuk PETA (Pembela Tanah Air) yaitu organisasi militer pribumi bentukan
Jepang di Jawa, walaupaun sebenarnya ia tak memenuhi syarat karena
usianya belum genap 18 tahun. Oleh prestasinya yang luar biasa ia
diangkat menjadi pelatih PETA di Bali. Kemudian dipindahkan ke Batavia.
Saat kejatuhan Jepang dan selepas
Proklamasi 1945, Daan Mogot bergabung dengan pemuda lainnya
mempertahankan kemerdekaan dan menjadi salah seorang tokoh pemimpin
Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan
pangkat Mayor. Uniknya saat itu Daan Mogot baru berusia 16 tahun namun
sudah berpangkat Mayor.
Malang tak dapat ditolak, saat ia berjuang membela negeri ini, ayahnya
tewas dibunuh oleh para perampok yang menganggap “orang Manado” (orang
Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda. Kesedihannya itu
ia sampaikan pada sepupunya Alex Kawilarang.
“Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex Kawilarang.
“Memang, itu yang mesti torang bereskan.
Oleh karena itu, senjata harus berada di torang pe tangan” kata Daan
Mogot. “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan. Awas,
hati-hati! Torang musti benar-benar menunjukkan, di pihak mana kita
berada.”
Daan Mogot berkeinginan mencurahkan pengetahuannya, apa yang dulu
didapatkannya saat masih dibawah PETA. Ia ingin mendidik para pemuda
yang mau menjadi tentara. Dan keinginan besarnya itu akhirnya terwujud
dengan berdirinya Akademi Milter di Tangerang 18 November 1945 bersama
Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin. Dan Daan Mogot diangkat menjadi
Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) saat ia berusia 17 tahun dengan
calon Taruna pertama yang dilatih berjumlah ada 180 orang.
Hutan Lengkong – Serpong Tangerang
Pada tanggal 30 November 1945 dilakukan perundingan antara Indonesia
dengan delegasi Sekutu. Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar
Negeri Agoes Salim yang didampingi oleh dua dua perwira TKR yaitu Mayor
Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan pihak Sekutu (Inggris), Brigadir ICA
Lauder didampingi oleh Letkol Vanderpost (Afrika Selatan) dan Mayor
West.
Pertemuan yang merupakan Meeting of
Minds, menghasilkan ketetapan tentang pengambil-alihan primary
objectives tentara Sekutu oleh TKR yang meliputi perlucutan senjata dan
pemulangan 35 ribu tentara Jepang yang masih di Indonesia, pembebasan
dan pemulangan Allied Prisoners of War and Internees (APWI) yang
kebanyakan terdiri dari lelaki tua, wanita, dan anak-anak berkebangsaan
Belanda dan Inggris sebanyak 36 ribu.
Berdasarkan kesepakatan 30 November 1945,
tentara Sekutu tidak lagi memiliki alasan untuk memasuki wilayah
kekuasaan Indonesia maupun menggunakan tentara Jepang untuk memerangi
Indonesia dengan dalih mempertahankan status quo pra- Proklamasi.
Perintah itu disampaikan oleh pihak Sekutu kepada Panglima Tentara
Jepang Letjen Nagano.
Sekitar tanggal 5 Desember 1945
ditegaskan oleh Kolonel Yashimoto dari pimpinan tentara Jepang kepada
pimpinan Kantor Penghubung TKR di Jakarta cq Mayor Oetarjo bahwa para
komandan tentara Jepang setempat sesuai dengan keputusan pimpinan
tentara Sekutu, telah diperintahkan tunduk kepada para komandan TKR
setempat yang bertanggung jawab atas pemulangan mereka.
Namun pada tanggal 24 Januari 1946, Daan
Mogot mendengar pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung. Dan bisa
dipastikan mereka akan melakukan gerakan merebut senjata tentara Jepang
di depot Lengkong.
Ini sangat berbahaya karena akan
mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang. Untuk mendahului jangan sampai
senjata Jepang jatuh ke tangan sekutu, berangkatlah pasukan TKR dibawah
pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna Militer Akademi
Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha pada tanggal 25 Januari 1946
lewat tengah hari sekitar pukul 14.00. Ikut pula bersamanya beberapa
orang perwira seperti Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo
dan Letnan Soetopo.
Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip
militer hasil rampasan dari Inggris, para prajurit berangkat dan sampai
di markas Jepang Lengkong pukul 16.00 WIB. Di depan pintu gerbang, truk
diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara
Jepang dengan Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan taruna Alex Sajoeti
(fasih bahasa Jepang) berjalan di depan. Pasukan taruna diserahkan
kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
Kapten Abe, dari pihak Jepang, menerima
ketiganya di dalam markas. Mendengar penjelasan maksud kedatangan
mereka, Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta.
Ia beralasan bahwa ia belum mendapat perintah atasannya tentang
perlucutan senjata. Saat perundingan berjalan, ternyata Lettu Soebianto
dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak
dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah
Kapten Abe. 40 orang Jepang telah terkumpulkan di lapangan.
Namun entah mengapa, tiba-tiba terdengar
bunyi tembakan yang tidak diketahui dari mana asalnya. Disusul tembakan
dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang diarahkan kepada
pasukan taruna yang terjebak. Tentara Jepang yang berbaris di lapangan
ikut pula memberikan perlawanan dengan merebut kembali sebagian senjata
mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk milik TKR.Terjadilah
pertempuran yang tak seimbang, apalagi pengalaman tempur dan
persenjataan para Taruna tak sebanding dsengan pihak Jepang. Taruna MAT
menjadi sasaran empuk, diterjang oleh senapan mesin, lemparan granat
serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.
Ketika mendengar pecahnya pertempuran,
Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan
berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Mayor
Daan Mogot bersama beberapa pasukannya menyingkir meninggalkan asrama
tentara Jepang, memasuki hutan karet yang dikenal sebagai hutan
Lengkong.
Namun Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara
pohon-pohon karet mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang
dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas
karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran ini tidak
berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan
Jepang dengan persenjataan dan persediaan peluru yang amat terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot
terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak
buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian
mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri
dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Monumen Lengkong
Dari pertempuran di hutan Lengkong, 33 taruna dan 3 perwira gugur serta
10 taruna luka berat. Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, hanya 3
taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri
dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang selanjutnya bertindak
penuh kebuasan. Mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup
dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari
tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa
orang yang masih hidup (walau mereka dalam keadaan terluka) dipaksa
untuk menggali kubur bagi teman-temannya.
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang
diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa
Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya
meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak
Tangerang. Hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan
Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim yang puteranya bernama Sjewket
Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga
taruna yang gugur. Dan bagi R.Margono Djojohadikusumo, pendiri BNI 1946,
ia kehilangan dua putra terbaiknya yaitu Letnan Soebianto
Djojohadikoesoemo dan Taruna R.M. Soejono Djojohadikoesoemo (keduanya
paman dari Prabowo Subianto).
Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah
Indonesia kemudian mengangkat Daan Mogot sebagai pahlawan nasional.
Namanya juga diabadikan menjadi nama Jalan yang menghubungkan Jakarta
dengan Tangerang. Jalan Ini memiliki sahabat setia yaitu Kali
Mookervaat.
Daan Mogot tutup usia pada tanggal 25
Januari tahun 1946. Hanya sempat merasakan sebulan hidup di usia 17
tahun atau dikenal sebagai saat sweet seventeen saat ini. Mungkin bagi
anak muda akan diperingati sebagai masa yang indah, namun bagi Hadjari
Singgih, pacar Mayor Daan Mogot, adalah sebuah pengorbanan yang sangat
berarti bagi negeri ini. Kado yang terindah darinya adalah dengan
memotong rambutnya yangpanjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu
bersama jenasah Daan Mogot.
Kini di antara kemewahan kawasan Serpong,
Tangerang Selatan, “terselip” sebuah sejarah bernilai tinggi bagi
Republik Indonesia. Sebuah rumah tua, bekas markas serdadu Jepang di
Desa Lengkong, menjadi saksi “Pertempuran Lengkong.” Di sebelah kanan
rumah itu berdiri sebuah monument yang dibangun sejak tahun 1993.
Terukir sejumlah nama taruna dan perwira yang gugur dalam peristiwa
heroik yang itu. Namun yang patut disayangkan adanya perbedaan antara
museum Lengkong dengan obyek-obyek sejarah lainnya di Tanah Air ini.
Markas tentara Jepang di Desa Lengkong
Museum dan Monumen Lengkong bukanlah
salah satu sarana obyek wisata yang bisa dikunjungi oleh masyarakat
luas. Pemanfaatannya hingga saat ini hanya sekedar tempat peringatan
peristiwa pertempuran. Sehingga banyak dari masyarakat sekitar yang
tidak tahu akan keberadaan bangunan historis tersebut. Apalagi
seharusnya di museum terpampang foto-foto perjuangan para taruna militer
di Indonesia beserta akademinya, namun sayang sekali foto-foto
bersejarah tersebut kini berada di Akademi Militer Tangerang dan akan
dipasang kembali tiap tanggal 25 Januari dalam upacara peringatan
peristiwa Pertempuran LengkongKisah kepahlawanan Daan Mogot menjadi
tamparan bagi kita, saat usia muda ia telah berbakti untuk negerinya.
Seharusnya kita terus kabarkan, agar para pemuda tahu bahwa sejarah
negeri ini bermula dari kaum pemuda. Agar para orang pemimpin negeri ini
tak memandang remeh pada jeritan kaum muda. Simak dan renungkan, apa
yang terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan Taruna,
Tangerang.
Elias Daniel Mogot Berusia 20 Tahun
Malang tak dapat ditolak, saat ia berjuang membela negeri ini, ayahnya tewas dibunuh oleh para perampok yang menganggap “orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda. Kesedihannya itu ia sampaikan pada sepupunya Alex Kawilarang.
“Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex Kawilarang.
Daan Mogot berkeinginan mencurahkan pengetahuannya, apa yang dulu didapatkannya saat masih dibawah PETA. Ia ingin mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara. Dan keinginan besarnya itu akhirnya terwujud dengan berdirinya Akademi Milter di Tangerang 18 November 1945 bersama Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin. Dan Daan Mogot diangkat menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) saat ia berusia 17 tahun dengan calon Taruna pertama yang dilatih berjumlah ada 180 orang.
Pada tanggal 30 November 1945 dilakukan perundingan antara Indonesia dengan delegasi Sekutu. Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Agoes Salim yang didampingi oleh dua dua perwira TKR yaitu Mayor Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan pihak Sekutu (Inggris), Brigadir ICA Lauder didampingi oleh Letkol Vanderpost (Afrika Selatan) dan Mayor West.
Namun Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran ini tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan persenjataan dan persediaan peluru yang amat terbatas.
Dari pertempuran di hutan Lengkong, 33 taruna dan 3 perwira gugur serta 10 taruna luka berat. Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, hanya 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.